Sabtu, 03 Januari 2015

Perbedaan Jamu , Obat Herbal Berstandar (OHB) dan Fitofarmaka

 
1. JAMU
imageGambar 1. Logo Jamu

Jamu adalah sedian obat herbal Indonesia (Indonesian Herbal Medicines) yang keamanan dan khasiatnya telah diketahui secara turun menurun berdasarkan pengalaman (empiris). Bentuk sediaan Jamu sebagaimana asalnya yaitu berupa serbuk, pil, cairan, dan sejenisnya.

Kriteria jamu antara lain adalah sebagai berikut:
-Aman
-Klaim khasiat dibuktikan secara empiris
-Memenuhi persyaratan mutu

Contoh :   image

2. OBAT HERBAL TERSTANDAR


image
Gambar 2, Obat Herbal Berstandar (OHB)

Obat Herbal Terstandar adalah sedian obat herbal Indonesia yang dibuat dari bahan berupa ekstrak atau serbuk yang telah distandarisasi. Status keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara ilmiah yaitu dengan uji pra-klinik. Bentuk sediaan Obat Herbal Terstandar biasanya berupa bentuk sediaan modern seperti kapsul atau tablet. OHT memiliki grade setingkat di bawah fitofarmaka. OHT belum mengalami uji klinis, namun bahan bakunya telah distandarisasi untuk menjaga konsistensi kualitas produknya. Uji praklinik dengan hewan uji, meliputi uji khasiat dan uji manfaat, dan bahan bakunya telah distandarisasi.

Ada lima macam uji praklinis yaitu uji eksperimental in vitro, uji eksperimental in vivo, uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik, dan uji toksisitas khusus. Uji toksisitas akut bertujuan mencari besarnya dosis tunggal yang membunuh 50% dari kelompok hewan coba (LD50). Pada tahap ini sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan yang bersangkutan. Sedangkan uji toksisitas jangka panjang (subkronik dan kronik), bertujuan meneliti efek toksik pada hewan coba setelah pemberian obat ini secara teratur dalam jangka panjang dan dengan cara pemberian seperti pada pasien nantinya. Lama pemberian bergantung pada lama pemakaian nantinya pada penderita. Penelitian toksisitas jangka panjang meliputi penelitian terhadap system reproduksi termasuk teratogenisitas dan mutagenisitas, serta uji ketergantungan. Walaupun uji farmakologi-toksikologik pada hewan ini memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentu berbeda pula jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi, atau fisiologinya.

Kriteria Obat Herbal Terstandar antara lain:
-Aman
-Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau pra-linik
-Bahan baku yang digunakan telah mengalami standarisasi
-Memenuhi persyaratan mutu.

Contoh :
 image

3. FITOFARMAKA
imageGambar 3. Logo Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sedian obat herbal Indonesia yang sudah dilakukan uji klinik secara lengkap. Sesuai persyaratan untuk melakukan uji klinik, sebelumnya harus dilakukan standarisasi. Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan manfaat klinik.

Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit). Uji klinik merupakan uji yang dilakukan pada manusia, setelah pengujian pada hewan (pra-klinik). Uji klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam beberapa fase yaitu :

Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat apakah efek farmakologi, sifat farmakokinetik yang diamati pada hewan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkan dan profil farmakokinetik obat pada manusia.

Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas (100-200 pasien) untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan pencegahan penyakit. Pada fase ini rancangan penelitian masih dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum ada kepastian bukti manfaat terapetik.

Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yang memadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada tidaknya manfaat terapetik.

Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran (surveilan post marketing) untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 , 3.

Syarat fitofarmaka yang lain adalah:
•Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
• Klaim khasiat dibuktikan secara uji klinik
• Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
• Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Contoh :
 
Sumber :
Bahan Kuliah
Google





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumlah pengunjung

Entri Populer